Pendahuluan (Part 3)
...
Percaya Pada Talenta
Kata Talenta seringkali dipahami secara sempit sebagai “bakat khusus di
bidang tertentu”, misalnya menyanyi, melukis, olahraga, dan lain-lain. Padahal
secara etimologis, kata talenta yang
berasal dari budaya Timur Tengah dua abad yang silam ini merupakan satuan mata
uang. Satu talenta setara dengan tiga ribu dinar, sedangkan satu dinar adalah upah kerja satu hari.
Jika dipadankan dengan keadaan sekarang, anggaplah di Indonesia rata-rata upah
kerja sehari Rp.25.000,-, satu talenta
nilainya sama dengan 3000 ×
Rp.25.000,-, yakni Rp.75.000.000,- Untuk ukuran buruh di negeri ini, jumlah
tersebut sangat fantastik! Kata talenta
ini mulai mendapat makna baru ketika digunakan dalam perumpamaan tentang
seorang Tuan kaya raya yang memiliki banyak pelayan. Suatu hari Sang Tuan mau
bepergian jauh, kepada para pelayannya dibagi-bagikan hartanya. Ada yang
mendapat satu talenta, dua talenta, tiga talenta, dan seterusnya. Setiap
pelayan mendapat bagiannya masing-masing secara cuma-cuma. Setelah
betahun-tahun mengembara, sang Tuan pun pulang ke rumahnya lalu mengumpulkan
para pelayannya untuk meminta pertanggungjawaban atas talenta-talenta yang
sudah diberikannya. Ternyata ada hamba yang secara kreatif mengembangkan
talentanya menjadi berlipatganda, namun ada juga yang menanamnya di tanah,
sehingga tidak berkembang dengan alasan supaya tidak dicuri maling. Yang
menarik adalah sikap sang Tuan yang sangat menghargai hamba-hamba yang berhasil
mengembangkan talenta dengan memberikan
bonus, namun kepada yang memendam talenta justru memintanya kembali.
Perumpamaan ini menyampaikan bahwa setiap anak secara inheren sudah dibekali
“karunia” yang tak ternilai harganya secara gratis (minimal 75 juta rupiah).
Tugas setiap manusia adalah bagaimana agar harta ini tidak sia-sia, dan pada
saatnya nanti bisa dipersembahkan kepada Sang Maha Pemurah.
Talenta mesti
dipahami sebagai seluruh potensi yang sudah tertanam dalam diri setiap anak
secara unik. Tugas kita bukan “menanam bakat” atau “mencetak manusia unggul”,
melainkan membantu anak-anak menemukan potensi tersebut dan memberi ruang gerak
agar potensi itu bisa tumbuh dan berkembang. Talenta mesti dipahami sebagai
segala sesuatu yang positif yang secara bawaan sudah ada dalam diri anak. Dalam
bahasa pendidikan sekarang, talenta bisa diartikan sebagai kecerdasan entah itu
bersifat intelektual (IQ), emosional (EQ), atau pun spiritual (SQ), bisa juga
yang lebih spesifik seperti teori Multiple Intelligence nya Dr. Howard
Gardner yang mengidentifikasikan adanya 8 kecerdasan dalam diri setiap anak.
Apa pun nama dan sebutannya, kebenaran yang perlu kita percayai adalah bahwa
setiap anak oleh Tuhan sudah dibekali dengan karunia tertentu secara unik.
Keyakinan ini akan menuntun kita pada sikap menghargai kemampuan apa pun yang
dimiliki anak, serta menghindarkan dari pemaksaan kehendak untuk menanamkan
sebanyak mungkin kemampuan menurut ukuran orang dewasa. Seorang anak yang
selalu ranking satu bukan berarti cerdas daripada anak-anak yang biasa-biasa
saja namun baik hati dan peduli terhadap sekitarnya. Talenta setiap anak bisa
berbeda-beda, tak perlu dibandingkan dan diukur dengan cara yang seragam.
Keyakinan ini juga akan memotivasi kita untuk terus berupaya membantu dan
mendukung anak-anak menemukan potensi dalam dirinya. Kita pun bisa menjadi
orang tua atau guru yang arif bijaksana dengan menerima setiap anak apa adanya,
tanpa syarat atau pengharapan yang berlebihan.
...
Pendahuluan (Part 5)