Sumber : http://andriblovers.blogspot.com/2012/02/cara-supaya-artikel-blog-tidak-bisa-di.html#ixzz1rPmjfh4K N21K Library

Sabtu, 31 Maret 2012

Pendahuluan (Part 4)

Pendahuluan (Part 3)
...

Percaya Pada Talenta
Kata Talenta seringkali dipahami secara sempit sebagai “bakat khusus di bidang tertentu”, misalnya menyanyi, melukis, olahraga, dan lain-lain. Padahal secara etimologis, kata talenta yang berasal dari budaya Timur Tengah dua abad yang silam ini merupakan satuan mata uang. Satu talenta setara dengan tiga ribu dinar, sedangkan satu dinar adalah upah kerja satu hari. Jika dipadankan dengan keadaan sekarang, anggaplah di Indonesia rata-rata upah kerja sehari Rp.25.000,-, satu talenta nilainya sama dengan 3000 × Rp.25.000,-, yakni Rp.75.000.000,- Untuk ukuran buruh di negeri ini, jumlah tersebut sangat fantastik! Kata talenta ini mulai mendapat makna baru ketika digunakan dalam perumpamaan tentang seorang Tuan kaya raya yang memiliki banyak pelayan. Suatu hari Sang Tuan mau bepergian jauh, kepada para pelayannya dibagi-bagikan hartanya. Ada yang mendapat satu talenta, dua talenta, tiga talenta, dan seterusnya. Setiap pelayan mendapat bagiannya masing-masing secara cuma-cuma. Setelah betahun-tahun mengembara, sang Tuan pun pulang ke rumahnya lalu mengumpulkan para pelayannya untuk meminta pertanggungjawaban atas talenta-talenta yang sudah diberikannya. Ternyata ada hamba yang secara kreatif mengembangkan talentanya menjadi berlipatganda, namun ada juga yang menanamnya di tanah, sehingga tidak berkembang dengan alasan supaya tidak dicuri maling. Yang menarik adalah sikap sang Tuan yang sangat menghargai hamba-hamba yang berhasil mengembangkan talenta  dengan memberikan bonus, namun kepada yang memendam talenta justru memintanya kembali. Perumpamaan ini menyampaikan bahwa setiap anak secara inheren sudah dibekali “karunia” yang tak ternilai harganya secara gratis (minimal 75 juta rupiah). Tugas setiap manusia adalah bagaimana agar harta ini tidak sia-sia, dan pada saatnya nanti bisa dipersembahkan kepada Sang Maha Pemurah.
Talenta mesti dipahami sebagai seluruh potensi yang sudah tertanam dalam diri setiap anak secara unik. Tugas kita bukan “menanam bakat” atau “mencetak manusia unggul”, melainkan membantu anak-anak menemukan potensi tersebut dan memberi ruang gerak agar potensi itu bisa tumbuh dan berkembang. Talenta mesti dipahami sebagai segala sesuatu yang positif yang secara bawaan sudah ada dalam diri anak. Dalam bahasa pendidikan sekarang, talenta bisa diartikan sebagai kecerdasan entah itu bersifat intelektual (IQ), emosional (EQ), atau pun spiritual (SQ), bisa juga yang lebih spesifik seperti teori Multiple Intelligence nya Dr. Howard Gardner yang mengidentifikasikan adanya 8 kecerdasan dalam diri setiap anak. Apa pun nama dan sebutannya, kebenaran yang perlu kita percayai adalah bahwa setiap anak oleh Tuhan sudah dibekali dengan karunia tertentu secara unik. Keyakinan ini akan menuntun kita pada sikap menghargai kemampuan apa pun yang dimiliki anak, serta menghindarkan dari pemaksaan kehendak untuk menanamkan sebanyak mungkin kemampuan menurut ukuran orang dewasa. Seorang anak yang selalu ranking satu bukan berarti cerdas daripada anak-anak yang biasa-biasa saja namun baik hati dan peduli terhadap sekitarnya. Talenta setiap anak bisa berbeda-beda, tak perlu dibandingkan dan diukur dengan cara yang seragam. Keyakinan ini juga akan memotivasi kita untuk terus berupaya membantu dan mendukung anak-anak menemukan potensi dalam dirinya. Kita pun bisa menjadi orang tua atau guru yang arif bijaksana dengan menerima setiap anak apa adanya, tanpa syarat atau pengharapan yang berlebihan.

...
Pendahuluan (Part 5)

Jumat, 30 Maret 2012

Mendidik dengan Hati


Pendahuluan (Part 3)

Pendahuluan (Part 2)
...

Percaya Pada Waktu
Orang bijak mengatakan: “Segala sesuatu ada WAKTUnya”, namun kita seringkali tidak sabar dan lebih mempercayai pada kemampuan latihan untuk memacu hasil secepatnya. Praktik-praktik “perangsangan” dan “pengarbitan” sangat mewarnai perilaku manusia dewasa ini di segala bidang dengan alasan efisiensi dan efektivitas. Sawah-sawah sekarang menjadi mandul dan lingkungan hancur karena program intensifikasi pertanian dengan bahan-bahan kimia sebagai penyubur tanah dan pembunuh hama. Kearifan Jawa mengingatkan, “Ojo nggege mongso”—jangan mendahului waktu, namun banyak orang sepertinya tak peduli. Di dunia pendidikan, maraknya lembaga bimbingan dan les yang menawarkan solusi instan untuk meraih sukses ditambah buku-buku latihan soal merupakan contoh bagaimana perilaku yang ingin “memaksa waktu” bisa menjadi peluang bisnis. Tak ketinggalan, vitamin, minuman dan makanan suplemen ikut meramaikan polusi terhadap WAKTU. Iklan-memiliki pola yang sama, “Ingin cepat ......... , pakailah ...... “  Dalam tradisi Hinduisme dan Kejawen, waktu dipersonifikasikan sebagai raksasa bernama Betara Kala yang akan memangsa manusia yang “menyimpang dari waktu”. Oleh karena itu anak-anak yang dianggap lahir secara “melawan waktu” harus menjalani upacara ruwatan agar selamat dari ancaman Betara Kala, dan tidak mengganggu harmoni kehidupan. Di samping setiap anak memiliki daya pertumbuhan dalam dirinya sendiri, dalam tahapan pertumbuhan itu pun pemekaran atau pencapaian memiliki waktunya sendiri-sendiri. Psikologi perkembangan boleh saja memberi batasan-batasan usia untuk mencapai kemampuan tertentu, namun setiap anak memiliki keunikannya sendiri, memiliki WAKTUnya sendiri. Ada anak yang cepat bicara, namun mungkin berjalan agak terlambat, atau sebaliknya. Kalau pun tanda-tanda yang kasat mata tidak tampak, Anda tak perlu cemas karena banyak proses mental yang sedang berlangsung tanpa bisa kita lihat. Jutaan sel saraf dengan tugasnya masing-masing sedang berproses, tinggal menunggu saat pemekarannya. Biarlah anak-anak menjalani proses pertumbuhan dan mencapai pemekaran menurut ritmenya masing-masing. Anak-anak tidak butuh perangsangan atau obat pemacu, Anda mesti lebih mempercayai potensi ciptaan Sang Maha Pencipta daripada buatan pabrik yang bermotivasi mencari profit. Bukankah kita percaya bahwa Tuhan lah yang menciptakan anak-anak kita? Pasti Dia juga melengkapinya dengan piranti-piranti yang akan digunakan dalam hidup ini. Kalau tanaman pun tahu kapan harus bercabang, kapan harus berbunga, dan kapan harus berbuah, apalagi anak-anak kita!
Sejatinya yang paling dibutuhkan anak-anak kita adalah WAKTU, berikanlah waktu kepadanya. Memberi waktu berarti belajar mengasuh dengan kesabaran. Memberi waktu juga berarti belajar memberikan kehadiran kita kepadanya. Di tengah kesibukan (bussines) dan padatnya agenda Anda, pernahkan Anda mengalokasikan waktu, bahkan memberi prioritas untuk anak? Berhubung belum ada mesin yang bisa memproduksi waktu, ada bahaya kita mengorbankan waktu yang semestinya untuk anak-anak karena kekurangan waktu untuk urusan lain. Serasa ada pembenaran dan bebas dari rasa bersalah karena kita sudah mengompensasikan waktu dan kehadiran kita untuk anak-anak dengan menyediakan baby sitter, pembantu, guru privat, les ini-itu, sopir pribadi, mainan, dan lain lain. Dengan demikian, orang tua merasa berhak melakukan hal-hal yang “lebih besar”, apalagi juga demi masa depan anak-anak! Agar Anda tidak menyesal di kemudian hari, investasikan waktu Anda untuk anak-anak. Pernah saya membuat riset sederhana dengan meminta anak-anak kelas 1SD mengungkapkan perasaan sedih dengan pertanyaan, “Kapan kamu merasa sedih?” hampir sebagian besar anak-anak memiliki perasaan sedih jika mereka merasa jauh dari orang tuanya. Misalnya, “Ketika Papa seharian tidak pulang”, “Mama tugas ke luar kota”, “Ketika di rumah tak ada siapa-siapa”, dan lain lain. Hadir bersama anak-anak dengan penuh kesabaran berarti membiarkan anak-anak menikmati pertumbuhan menurut jalannya sendiri. Inilah pilihan bijak orang tua yang mengharapkan anak-anaknya bisa tumbuh dengan bahagia, bukan hanya di masa depan, melainkan sekarang juga. Hanya anak-anak yang sekarang bahagia lah nantinya bisa menjadi orang-orang dewasa yang bahagia juga.
Masih tentang waktu, anak-anak menghayati waktu sangat berbeda dari orang dewasa. Tiga dimensi waktu—masa lalu, masa kini, dan masa depan – bagi orang dewasa sangat tegas batas-batasnya, bahkan obsesinya lebih ke masa depan, sedangkan bagi anak-anak waktu merupakan satu keutuhan dan lebih berfokus pada masa sekarang ini. Bagi anak-anak, apa yang sedang berlangsung saat ini adalah realitas yang paling penting, sehingga waktu pun terasa berjalan lebih lamban bagi mereka dibanding orang dewasa yang cenderung merasakan waktu sebagai sesuatu yang mengejar terus. Betapa sering orang tua khawatir dengan perilaku anaknya yang lebih suka bermain daripada belajar untuk mempersiapkan masa depan. Kalau anak-anak seakan tidak peduli dengan masa depannya, bukan berarti mereka “malas” atau “acuh tak acuh”. Sudut pandang dan penghayatannya tentang waktu lah yang berbeda dari kita orang dewasa ini. Sekolah sebagai lembaga yang mempersiapkan “masa depan” anak-anak seringkali kurang memahami perbedaan ini, sehingga program-programnya lebih berorientasi ke masa depan dengan mengabaikan masa sekarang dan merampas kebahagiaan anak-anak. Biarlah anak-anak menikmati kebahagiaan sekarang ini karena pengalaman masa kanak-kanak yang indah akan menentukan cara memaknai hidupnya di masa yang akan datang. Ingatlah kebahagiaan sejati senantiasa ditemukan di masa sekarang, bukan di masa lalu atau masa depan. Ironisnya, sesungguhnya secara alamiah anak-anak sudah tahu bagaimana caranya menemukan itu, namun justru orang dewasa yang menyeret dan membebaninya dengan persoalan masa depan.

...
Pendahuluan (Part 4)

Pendahuluan (Part 2)

Pendahuluan (Part 1)

... .Agar Anda bisa berhasil dalam mendampingi dan menghantar anak-anak Anda menemukan kesuksesan dalam hidup, perlu kiranya Anda meyakini 3 Kebenaran berikut ini:
Percaya Pada Daya Pertumbuhan
Saya pernah tertegun menyaksikan fenomena sederhana ini: lantai beton yang keras itu bisa retak karena sebutir biji lamtoro, yang tanpa sengaja tercampur adonan semen, merekah menjadi kecambah. Biji kecil yang lunak ini ternyata menyimpan daya pertumbuhan yang dahsyat di dalam dirinya sendiri. Tak ada pengaruh eksternal apa pun yang mendorong pertumbuhan tersebut, sebagai orang beriman kita bisa meyakini fenomena itu merupakan kemahakuasaan Tuhan, mungkin ilmuwan yang atheis boleh saja menganggap sebagai daya yang dimiliki “gen” lamtoro yang sudah memiliki cetak birunya. Apa pun cara pandangnya, harus diakui bahwa ada daya pertumbuhan yang sudah built-up dalam biji lamtoro tersebut. Memang, apakah lamtoro itu akan tumbuh menjadi pohon raksasa atau segera layu dan mati, akan sangat tergantung pada lingkungan dan perlakuan sekitarnya. Sekarang kita bisa menarik analogi, kalau sebutir lamtoro saja memiliki daya pertumbuhan yang luar biasa, bagaimana dengan manusia? Spesies terunggul yang menghuni planet bumi ini tentu memiliki daya pertumbuhan yang jauh lebih dahsyat dibanding sebutir biji lamtoro. Namun demikian, kita seringkali mengabaikan kebenaran tersebut. Kita beranggapan bahwa anak sebagai wadah kosong atau kertas putih yang semuanya tergantung dari perlakuan kita. Tak jarang kita justru menghalangi daya pertumbuhan alamiah tersebut dengan berbagai upaya yang sering mengatasnamakan “pendidikan”. Bayangkan, Anda sedang melakukan tindakan untuk mempercepat pertumbuhan pada pertumbuhan pada sebutir biji dengan cara mencongkel atau mengupasnya, tumbuhan yang dihasilkannyapun akan cacat dan terganggu selamanya.
Kendati banyak iklan menawarkan berbagai makanan suplemen untuk ibu hamil agar bayinya bisa tumbuh sehat, jangan terkecoh seakan-akan makanan sejenis itulah yang menumbuhkan bayi Anda. Tanpa makanan semacam itu pun, bahkan seandainya tanpa dikehendaki oleh si ibu sekali pun, tetap saja ada daya pertumbuhan yang tak bisa dihalangi dalam diri bayi tersebut. Y ang bisa kita buat hanya memberikan ruang, kondisi, dan memenuhi kebutuhan agar proses pertumbuhan itu tak terhalang. Hal yang sama terjadi ketika anak sudah berada di luar kandungan, yakinilah bahwa ada daya pertumbuhan yang secara alamiah mendorong dan menempuh jalannya sendiri. Bayangkan sebatang tanaman, sore hari berupa tunas, pagi harinya sudah berubah menjadi daun atau bunga atas kekuatannya sendiri. Ada pengalaman menarik dari seorang bapak ketika menjalani sebagai tahanan politik sementara anaknya masih kecil-kecil. Suatu hari saya sempat bertanya bagaimana caranya mengatasi rasa rindu dan kecemasannya terhadap anak-anak yang ditinggalkannya. Lalu ia bercerita bahwa kerinduan terhadap anak-anak memang merupakan siksaan terberat yang harus dijalaninya sampai suatu ketika ia disadarkanmoleh sebatang tanaman yang tumbuh di luar pagar. Tiba-tiba ada sebatang pohon menyembul dari balik pagar, semula tak pernah kelihatan karena tingginya masih di bawah pagar. Hari pertamanya hanya tampak tunas kecil, hari berikutnya semakin naik dan seterusnya bertambah tinggi hingga menjadi sebatang pohon yang menjulang melampaui pagar. Tanpa sadar bapak tersebut terus mengamati pertumbuhan tanaman itu dari hari ke hari di tengah kesepian hatinya. Kegelisahan dan kekhawatirannya mengenai bagaimana nasib anak-anaknya sepeninggal dirinya (ia tak pernah tahu apakah besok masih hidup atau sudah hilang), tiba-tiba diganti kesadaran baru melalui tanaman tersebut. Katanya dalam hati, “Anak-anakku pun sama dengan pohon itu, ia tetap tumbuh dan berkembang ada maupun tidak ada aku. Kalau Tuhan tetap berkarya terhadap pohon itu, Ia pun tak akan berhenti menumbuhkan anak-anakku”. Kesadaran baru ini membuat dirinya terbebas dari kegelisahan bahkan memberi harapan baru, karena perasaan-perasaan negatif justru diganti dengan kegairahan berpikir positif tentang perkembangan anak-anaknya. Ia selalu membayangkan hal-hal positif terhadap ank-anaknya, dan memelihara keyakinan bahwa suatu saat nanti pasti berjumpa. Ketika bapak itu telah dibebaskan, ternyata anak-anaknya memang tumbuh dengan baik kendati dalam situasi sulit.
Kecemasan dan kegelisahan bersumber pada ketakutan yang belum diketahui, di samping harapan-harapan yang berlebihan, orang tua pun seringkali mencemaskan anak-anaknya tanpa alasan yang jelas. Ada orang tua yang cemas melihat anaknya belum lancar bicara sementara anak tetangga yang sebaya sudah fasih. Banyak saya jumpai di kelas-kelas Taman Kanak Kanak, orang tua yang cemas melihat anaknya tidak berminat belajar membaca dan lebih suka bermain. Lebih buruk lagi, orang tua mulai memaksakan kehendaknya atas dasar kecemasannya yang tak beralasan. Oleh sebab itu, membangun keyakinan bahwa dalam diri setiap anak sudah terkandung potensi pertumbuhan alamiah, dan saat ini sedang berproses menurut caranya sendiri akan membebaskan kita dari kecemasan dan pemaksaan terhadap anak-anak. Ibaratnya, Sang Penabur sudah menyebarkan benih: ada yang jatuh di tanah subur, di pasir, di bebatuan, bahkan tersangkut di semak. Benih itu pasti dengan kekuatannya sendiri akan berubah menjadi kecambah, namun pertumbuhan selanjutnya akan dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Orang tua dan orang dewasa lainnyalah yang bertugas menciptakan lingkungan bagi pertumbuhan benih itu. Tugas kita adalah menjadi tanah subur, dan benih akan tumbuh dengan sendirinya, tak mungkin biji kacang akan tumbuh menjadi tanaman bayam kendati kita menginginkannya.

...
Pendahuluan (Part 3)

Pendahuluan (Part 1)


Pendahuluan
Tuhan Tidak Menciptakan Sampah
Anak-anak tumbuh setiap hari, bukan dalam sehari.

Dewasa ini pemahaman tentang pentingnya pendidikan anak tak bisa diragukan lagi, artinya kualitas pendidikan yang diberikan kepada anak pada masa-masa awal diyakini akan sangat menentukan keberhasilan anak di masa depan. Namun demikian, tak jarang pemahaman yang setengah-setengah justru menimbulkan distorsi dalam praktik pendidikan. Anak-anak diperlakukan sebagai wadah kosong yang harus dituangi berbagai “ilmu” yang menurut orang dewasa akan bermanfaat bagi masa depannya. Karena ada wadah yang bisa menampung banyak, sedikit, bahkan bocor, demikian juga anak pun diklasifikasikan dengan label-label tertentu: unggul, cerdas, rata-rata, bodoh, normal, di bawah normal, dan seterusnya. Anak-anak yang atas namanya sendiri tidak pernah minta dilahirkan ini harus menanggung stigma yang bukan karena perbuatannya. Tuntutan dan pengharapan orang tua terhadap anak seringkali melampaui batas kemampuan dan kebebasan anak sebagai pribadi yang unik. Akibatnya, anak-anak justru menjadi korban praktik pendidikan entah di keluarga atau pun di sekolah. Oleh sebab itu, tidak cukup bagi kita hanya bermodalkan niat luhur untuk memberikan yang terbaik bagi masa depan anak tanpa dilandasi pemahaman tentang hakikat anak dan pendidikan itu sendiri. Buku ini mencoba memberi wawasan secara positif perihal pendidikan anak serta kiat-kiat yang dibutuhkannya agar anak bisa tumbuh menjadi dirinya sendiri, yang pada akhirnya akan mampu memberi makna terhadap panggilan hidup yang dipilihnya secara bebas. Itulah inti kebahagiaan dan kesuksesan sejati. ...

Pendahuluan (Part 2)

Prakata dan Halaman Persembahan


Prakata

Buku ini merupakan ramuan antara refleksi pengalaman sehari-hari bergumul dengan anak-anak dan pemikiran yang berhubungan dengan pendidikan anak. Sebagai seorang guru dan orang tua, ada semacam kegalauan yang terus mengusik menyaksikan praktik pendidikan anak yang semakin kehilangan arah di satu pihak, di lain pihak anak-anak sekarang menghadapi tantangan yang jauh lebih sulit dibanding penulis sewaktu kecil. Namun demikian, setiap kali memandang pijar-pijar matanya selalu memancarkan harapan yang tak akan padam.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang sangat sederhana (jauh dari kesan ilmiah) kendati diinspirasikan oleh temuan-temuan ilmiah sehubungan dengan pendidikan anak baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan demikian, orang tua dan guru tidak perlu mengernyitkan kening untuk membacanya, atau menyisihkan waktu khusus untuk mempelajarinya. Terima kasih kepada para peneliti dan penulis yang mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan anak dan pengembangan kualitas hidup manusia pada umumnya, seperti Daniel Goleman dengan Emotional Intelligence-nya, Howard Gardner dengan Multiple Intelligence-nya, John Gray, John Gottman, Thomas Amstrong, Richards Carlson, alm. Romo Mangun, Prof.Dr. Utami Mumandar, Prof.Dr. Conny Setiawan, dan lain-lain. Hasil penelitian dan pemikiran mereka menginspirasi dan memotivasi saya untuk menulis buku ini.
Anak-anak Play group, Taman Kanak-Kanak, dan SD Yayasan Adhi Mekar Indonesia (AMI) Denpasar, Bali yang setiap pagi memanggil-manggil nama saya, “Pak Paul, Pak Paul..”, bahkan ada yang masih cedal, sehingga terdengar “Bak Pao..Bak Pao.” Panggilan kalian sungguh menembus sampai ke kedalaman jiwa saya dan setiap saat bergaung. Buku ini juga untuk kalian dan semua anak Indonesia yang pada dasarnya cerdas dan berpotensi.
Terima kasih.

Penulis


Halaman Persembahan

Untuk anak-anakku Aditya, Risang, dan Kevin, yang senantiasa mengajari aku bagaimana menjadi orang tua, dan rela memaafkan kekurangan-kekuranganku.
Untuk istriku Indah Imeldawati, yang terus memotivasi dan menjadi sumber kekuatan, you are my sunshine!
I love you and I need you